Ideologi dan gerakan Islam radikal
SEJAK Orde Baru tumbang, gerakan Islam di Indonesia mengalami fase baru. Orde Baru menerapkan politik Islam yang ketat. Ormas atau jamaah Islam boleh berkembang asal tidak merongrong kekuasaan Soeharto atau menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Ormas Islam yang masih bercita-cita akan mendirikan negara Islam pasti segera digebuk.
Jangankan dalam bentuk organisasi, kumpul-kumpul tanpa izin (sekalipun berbentuk pengajian) bisa dicap kelompok yang akan menentang pemerintah. Sebaliknya, ormas Islam yang dapat bekerja sama dengan pemerintah akan diberikan banyak kemudahan, apalagi bila mau menyokong partai tertentu.
Pada era reformasi, kontrol ketat terhadap pertumbungan dan perkembangan ormas Islam tidak ada lagi. Atas nama hak asasi, setiap orang bebas membentuk perkumpulan atau jamaah dengan tujuan apa saja. Kebebasan ini juga dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Tanpa dikomando, kelompok pengajian, usrah, halaqah, dan sejenisnya tumbuh bak jamur di musim hujan.
Sebagian gerakan dakwah itu tidak mau dikenal publik. Gerakannya hidup, tumbuh dan berkembang. Perekrutan jamaah dilakukan secara massif tetapi tertutup. Cirinya eksklusif, selalu berjamaah, terkesan taat beragama dan berkelompok. Secara rutin mereka melakukan pertemuan, jamaahnya dibaiat dan harus melakukan tugas dakwah dalam arti yang sesungguhnya. Mereka berkelana dari satu masjid ke masjid lain, dengan satu tujuan yakni berdakwah.
Sebagian yang lain mengembangkan dakwah Islam lebih terbuka dan mengenalkan diri kepada publik. Dibentuk organisasi modern seperti KAMMI, HTI, MMI, Jamaah Islamiyyah dan sejenisnya.
Ada yang berdakwah dengan politik seperti PKS, ada pula tetap setiap dengan gerakan sosialnya (HTI dan sejenisnya). Muncul pula kelompok atau jamaah pengajian yang semi organisasi seperti Majelis Tafsir al- Quran (MTA), Jamaah Tablig dan sejenisnya yang ada di setiap daerah dengan ciri khasnya masing-masing.
Dilihat dari jaringannya, sebagian ormas atau jamaah tersebut bersifat lokal, ada pula yang internasional. Dari sisi ideologi keagamaannya, mereka mengembangkan Islam normatif yang mirip dengan ideologi Wahabi. Ditambah dengan ormas keagamaan yang sudah lebih dulu seperti Muhammadiyah, NU, al-Irsyad, Persis, dan seterusnya, dakwah Islam di era reformasi relatif lebih semarak dan bergairah.
Pola dan ideologi tunggal
Iklim politik yang relatif kondusif dan kebijakan pemerintah yang tidak membatasi gerak dakwah Islam adalah berkah tersendiri. Ormas atau jamaah Islam berlombalomba mengajarkan Islam seseuai dengan keyakinannya. Untuk sebagian malah berani menyerang paham- paham keagamaan ormas lama yang dulu sangat dominan. Akibatnya terjadi ketegangan antarormas, ormas dengan jamaah dan jamaah dengan masyarakat sekitar.
Menjamurnya ormas dan jamaah pengajian di Indonesia memiliki pola gerakan dan ideologi yang serupa. Pola gerakannya selalu membentuk jamaah (kelompok) dan merekrut anggotanya secara tertutup tapi massif. Masing-masing jamaah selalu diberi tugas untuk berdakwah dan mencari jamaah lagi. Pola rekrutmen jamaah bisa dor to dor, melalui masjid atau musala, atau lewat lembaga pendidikan.
Melalui jamaah yang rutin melakukan pertemuan dan pendalaman agama ini, indoktrinasi ajaran-ajaran Islam dilakukan secara intensif. Ajaran Islam yang dianut menyerupai paham yang dianut oleh tokoh gerakan dakwah dari Timur Tengah seperti Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Sayyid Qutub, Hassan al-Banna dan lain-lain. Sekalipun mereka kadang tidak mau dihubungkan keyakinan agamanya dengan kelompok tertentu atau mengaku tidak bermazhab, tapi pokok-pokok doktrinnya hampir serupa dengan tokoh dari Jazirah Arab itu.
Arab Saudi mendukung penuh gerakan Abdul Wahab (Wahhabi) dan menyebarkannya secara internasional. Dengan kekayaan minyak yang dimiliki, negara petrodolar itu memberi sumbangan kepada ormas keagamaan baik yang berkategori internasional maupun lokal, sepanjang ideologinya sama dengan Saudi Arabia. Belum ada data konkret tentang hal ini, namun kemesraan itu dapat dibaca dengan mudah.
Sejarah gerakan dan ajaran Wahhabi sangat khas, kaku, dan tekstual. Mereka merasa paling benar dan mudah mengkafirkan kelompok lain. Kolaborasi Wahhabi dengan Ibn Sa"ud saat itu melahirkan kekhawatiran dunis Islam lain. Mereka pernah memerintahkan penghancuran makam, atau masjid yang dianggap keramat. Mereka mengirim juru dakwah Wahhabi (mutawiyyah) ke suku-suku gurun untuk menyalakan perang suci (jihad) di hati mereka.
Saat itu, penduduk gurun terpengaruh, lebih baik latihan perang dari pada menjadi buruh tani. Toh, sama-sama mendapatkan bayaran, apalagi ditambah dengan tujuan dakwah. Embrio radikalisme beragama sangat mudah di Saudi. Hal sejenis juga terjadi di Indonesia saat ini. Banyak kelompok pengajian mengajarkan bahwa dakwah lebih utama dari keluarga atau persaudaraan. Pekerjaan dan aktivitas dunia lain dianggap tidak penting, kalau panggilan dakwah sudah mengundang.
Tentu saja, tidak mudah menghubungkan gerakan dakwah Islam di Indonesia dengan jaringan internasional Wahhabi. Tetapi dilihat dari pola dan ideologinya, keterkaitan itu bukanlah suatu kebetulan. Ada perencanaan, aliran dana, dukungan literatur dan sejenisnya sehingga pola dan gerakan dakwah memiliki banyak kesamaan di dua negara tersebut.
Menumpas tradisi
Bukan suatu kebetulan juga bila gerakan Islam pascareformasi hampir sama pendapatnya tentang tradisi. Mereka seragam menyatakan bahwa tradisi keagamaan itu haram bila tidak ada dasar Alquran dan hadits. Mereka juga terang-terangan mengatakan di muka umum atau di mimbar masjid bahwa tradisi keagamaan dari ormas tertentu harus diberantas habis.
Para dai yang memancing emosi warga itu tidak takut dimusuhi karena yang ditakuti hanya Allah semata. Mereka menyebut tradisi atau muatan lokal dalam Islam sebagai praktik takhayul, bidah, dan khurafat yang harus diberantas. Bentukbentuk muatan lokal seperti tahlil, manakib, ziarah kubur dan masalah khilafiyah lainnya diserang habis dan dicap sebagai tradisi yang hanya akan mengantarkan pengamalnya ke pintu neraka. Cara-cara dakwah mereka juga diarahkan untuk mengkritik dan menonjok Islam tradisi.
Dengan jargon gerakan alruju" ila Alquran wa al-Sunnah (kembali kepada Alquran dan al-Sunnah), Islam harus dibersihkan (purifikasi) dari budaya atau tradisi masyarakat. Ukuran kemurnian Islam didasarkan pada ajaran tunggal seperti Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sejatinya, doktrin kembali kepada Alquran dan al-Sunnah adalah doktrin mulia. Semua orang tahu, bahwa muslim harus mendasarkan kehidupannya pada dua sumber itu. Tetapi pengejawantahan doktrin tersebut seharusnya tidak perlu menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Dapat dibayangkan, kelompok Islam yang relatif masih berjumlah kecil saja berani terang-terangan melawan pendapat mayoritas. Apa jadinya bila secara kuantitas mereka memiliki pengikut yang banyak.
Menurut penulis, pemberantasan tradisi adalah tujuan antara, sementara tujuan utamanya adalah ideologi. Teorinya sangat sederhana, bila umat Islam sudah bisa dipisahkan dari tradisi yang bertahun-tahun dianut, maka merubah ideologi tinggal menunggu waktu. Semua orang tahu, tradisi adalah kebiasaan yang lama dilakukan. Tradisi adalah ideologi bagi seseorang.
Dalam konteks kenegaraan, dasar negara adalah ideologi yang mentradisi. Dalam jangka panjang, dasar negara bisa jadi akan aus dan hanya menjadi tradisi semata, sama seperti tradisi-tradisi lainnya. Apalagi dasar negara yang tidak ada sandaran kitab sucinya. Bila ideologi negara sudah ambruk, maka cita-cita khilafah Islamiyyah segera terwujud. Bangunan kenegaraan ini bisa jadi berada di dalam ancaman yang sangat serius.
Jangankan dalam bentuk organisasi, kumpul-kumpul tanpa izin (sekalipun berbentuk pengajian) bisa dicap kelompok yang akan menentang pemerintah. Sebaliknya, ormas Islam yang dapat bekerja sama dengan pemerintah akan diberikan banyak kemudahan, apalagi bila mau menyokong partai tertentu.
Pada era reformasi, kontrol ketat terhadap pertumbungan dan perkembangan ormas Islam tidak ada lagi. Atas nama hak asasi, setiap orang bebas membentuk perkumpulan atau jamaah dengan tujuan apa saja. Kebebasan ini juga dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Tanpa dikomando, kelompok pengajian, usrah, halaqah, dan sejenisnya tumbuh bak jamur di musim hujan.
Sebagian gerakan dakwah itu tidak mau dikenal publik. Gerakannya hidup, tumbuh dan berkembang. Perekrutan jamaah dilakukan secara massif tetapi tertutup. Cirinya eksklusif, selalu berjamaah, terkesan taat beragama dan berkelompok. Secara rutin mereka melakukan pertemuan, jamaahnya dibaiat dan harus melakukan tugas dakwah dalam arti yang sesungguhnya. Mereka berkelana dari satu masjid ke masjid lain, dengan satu tujuan yakni berdakwah.
Sebagian yang lain mengembangkan dakwah Islam lebih terbuka dan mengenalkan diri kepada publik. Dibentuk organisasi modern seperti KAMMI, HTI, MMI, Jamaah Islamiyyah dan sejenisnya.
Ada yang berdakwah dengan politik seperti PKS, ada pula tetap setiap dengan gerakan sosialnya (HTI dan sejenisnya). Muncul pula kelompok atau jamaah pengajian yang semi organisasi seperti Majelis Tafsir al- Quran (MTA), Jamaah Tablig dan sejenisnya yang ada di setiap daerah dengan ciri khasnya masing-masing.
Dilihat dari jaringannya, sebagian ormas atau jamaah tersebut bersifat lokal, ada pula yang internasional. Dari sisi ideologi keagamaannya, mereka mengembangkan Islam normatif yang mirip dengan ideologi Wahabi. Ditambah dengan ormas keagamaan yang sudah lebih dulu seperti Muhammadiyah, NU, al-Irsyad, Persis, dan seterusnya, dakwah Islam di era reformasi relatif lebih semarak dan bergairah.
Pola dan ideologi tunggal
Iklim politik yang relatif kondusif dan kebijakan pemerintah yang tidak membatasi gerak dakwah Islam adalah berkah tersendiri. Ormas atau jamaah Islam berlombalomba mengajarkan Islam seseuai dengan keyakinannya. Untuk sebagian malah berani menyerang paham- paham keagamaan ormas lama yang dulu sangat dominan. Akibatnya terjadi ketegangan antarormas, ormas dengan jamaah dan jamaah dengan masyarakat sekitar.
Menjamurnya ormas dan jamaah pengajian di Indonesia memiliki pola gerakan dan ideologi yang serupa. Pola gerakannya selalu membentuk jamaah (kelompok) dan merekrut anggotanya secara tertutup tapi massif. Masing-masing jamaah selalu diberi tugas untuk berdakwah dan mencari jamaah lagi. Pola rekrutmen jamaah bisa dor to dor, melalui masjid atau musala, atau lewat lembaga pendidikan.
Melalui jamaah yang rutin melakukan pertemuan dan pendalaman agama ini, indoktrinasi ajaran-ajaran Islam dilakukan secara intensif. Ajaran Islam yang dianut menyerupai paham yang dianut oleh tokoh gerakan dakwah dari Timur Tengah seperti Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Sayyid Qutub, Hassan al-Banna dan lain-lain. Sekalipun mereka kadang tidak mau dihubungkan keyakinan agamanya dengan kelompok tertentu atau mengaku tidak bermazhab, tapi pokok-pokok doktrinnya hampir serupa dengan tokoh dari Jazirah Arab itu.
Arab Saudi mendukung penuh gerakan Abdul Wahab (Wahhabi) dan menyebarkannya secara internasional. Dengan kekayaan minyak yang dimiliki, negara petrodolar itu memberi sumbangan kepada ormas keagamaan baik yang berkategori internasional maupun lokal, sepanjang ideologinya sama dengan Saudi Arabia. Belum ada data konkret tentang hal ini, namun kemesraan itu dapat dibaca dengan mudah.
Sejarah gerakan dan ajaran Wahhabi sangat khas, kaku, dan tekstual. Mereka merasa paling benar dan mudah mengkafirkan kelompok lain. Kolaborasi Wahhabi dengan Ibn Sa"ud saat itu melahirkan kekhawatiran dunis Islam lain. Mereka pernah memerintahkan penghancuran makam, atau masjid yang dianggap keramat. Mereka mengirim juru dakwah Wahhabi (mutawiyyah) ke suku-suku gurun untuk menyalakan perang suci (jihad) di hati mereka.
Saat itu, penduduk gurun terpengaruh, lebih baik latihan perang dari pada menjadi buruh tani. Toh, sama-sama mendapatkan bayaran, apalagi ditambah dengan tujuan dakwah. Embrio radikalisme beragama sangat mudah di Saudi. Hal sejenis juga terjadi di Indonesia saat ini. Banyak kelompok pengajian mengajarkan bahwa dakwah lebih utama dari keluarga atau persaudaraan. Pekerjaan dan aktivitas dunia lain dianggap tidak penting, kalau panggilan dakwah sudah mengundang.
Tentu saja, tidak mudah menghubungkan gerakan dakwah Islam di Indonesia dengan jaringan internasional Wahhabi. Tetapi dilihat dari pola dan ideologinya, keterkaitan itu bukanlah suatu kebetulan. Ada perencanaan, aliran dana, dukungan literatur dan sejenisnya sehingga pola dan gerakan dakwah memiliki banyak kesamaan di dua negara tersebut.
Menumpas tradisi
Bukan suatu kebetulan juga bila gerakan Islam pascareformasi hampir sama pendapatnya tentang tradisi. Mereka seragam menyatakan bahwa tradisi keagamaan itu haram bila tidak ada dasar Alquran dan hadits. Mereka juga terang-terangan mengatakan di muka umum atau di mimbar masjid bahwa tradisi keagamaan dari ormas tertentu harus diberantas habis.
Para dai yang memancing emosi warga itu tidak takut dimusuhi karena yang ditakuti hanya Allah semata. Mereka menyebut tradisi atau muatan lokal dalam Islam sebagai praktik takhayul, bidah, dan khurafat yang harus diberantas. Bentukbentuk muatan lokal seperti tahlil, manakib, ziarah kubur dan masalah khilafiyah lainnya diserang habis dan dicap sebagai tradisi yang hanya akan mengantarkan pengamalnya ke pintu neraka. Cara-cara dakwah mereka juga diarahkan untuk mengkritik dan menonjok Islam tradisi.
Dengan jargon gerakan alruju" ila Alquran wa al-Sunnah (kembali kepada Alquran dan al-Sunnah), Islam harus dibersihkan (purifikasi) dari budaya atau tradisi masyarakat. Ukuran kemurnian Islam didasarkan pada ajaran tunggal seperti Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sejatinya, doktrin kembali kepada Alquran dan al-Sunnah adalah doktrin mulia. Semua orang tahu, bahwa muslim harus mendasarkan kehidupannya pada dua sumber itu. Tetapi pengejawantahan doktrin tersebut seharusnya tidak perlu menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Dapat dibayangkan, kelompok Islam yang relatif masih berjumlah kecil saja berani terang-terangan melawan pendapat mayoritas. Apa jadinya bila secara kuantitas mereka memiliki pengikut yang banyak.
Menurut penulis, pemberantasan tradisi adalah tujuan antara, sementara tujuan utamanya adalah ideologi. Teorinya sangat sederhana, bila umat Islam sudah bisa dipisahkan dari tradisi yang bertahun-tahun dianut, maka merubah ideologi tinggal menunggu waktu. Semua orang tahu, tradisi adalah kebiasaan yang lama dilakukan. Tradisi adalah ideologi bagi seseorang.
Dalam konteks kenegaraan, dasar negara adalah ideologi yang mentradisi. Dalam jangka panjang, dasar negara bisa jadi akan aus dan hanya menjadi tradisi semata, sama seperti tradisi-tradisi lainnya. Apalagi dasar negara yang tidak ada sandaran kitab sucinya. Bila ideologi negara sudah ambruk, maka cita-cita khilafah Islamiyyah segera terwujud. Bangunan kenegaraan ini bisa jadi berada di dalam ancaman yang sangat serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar