arsip blog

Kamis, 27 Mei 2010


MAZHAB SYAFI'I

Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i[1][2]. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.

Daftar isi

Sejarah

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.

Dasar-dasar

Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.

  1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
  2. Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
  3. Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
  4. Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.

Lihat pula: Ijtihad

Qaul Qadim dan Qaul Jadid

Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang lama").

Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru").

Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.

Penyebaran

Mazhab Syafi'i (warna kuning tua) dominan di Afrika Timur, dan di sebagian Jazirah Arab dan Asia Tenggara.

Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki[3], yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:

  • Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
  • Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
  • Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)

Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i[4]. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain:

] Peninggalan

Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.

Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.

Catatan kaki

  1. ^ Hamid, Mohd. Liki, (2006), Pengajian Tamadun Islam, ed. ke-2, Malaysia: PTS Professional, ISBN 978-983-3585-65-6
  2. ^ Yilmaz, Ihsan, (2005), Muslim laws, politics and society in modern nation states: dynamic legal pluralisms in England, Turkey, and Pakistan, Ashgate Publishing Ltd.,ISBN 0-7546-4389-1.
  3. ^ Bearman, Peri J., Bearman, Peri, Peters, Rudolph, Vogel, Frank E., (2005), The Islamic school of law: evolution, devolution, and progress, Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School, ISBN 978-0-674-01784-9.
  4. ^ Al-Salam, Ibn 'Abd, Kabbani, Shaykh Muhammad Hisham, Haddad, Gibril Fouad, (1999), The Belief of the People of Truth, ISCA, ISBN 1-930409-02-8.

Referensi

  1. Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
  2. Al-Qaththan, Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc., MA., Penyunting: Abduh Zulfidar Akaha, Lc., Cet.1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
  3. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
  4. Imam Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerjemah: Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, 2002).
  5. Al Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab Baiquni dan Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun).

Ideologi dan gerakan Islam radikal


SEJAK Orde Baru tumbang, gerakan Islam di Indonesia mengalami fase baru. Orde Baru menerapkan politik Islam yang ketat. Ormas atau jamaah Islam boleh berkembang asal tidak merongrong kekuasaan Soeharto atau menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Ormas Islam yang masih bercita-cita akan mendirikan negara Islam pasti segera digebuk.

Jangankan dalam bentuk organisasi, kumpul-kumpul tanpa izin (sekalipun berbentuk pengajian) bisa dicap kelompok yang akan menentang pemerintah. Sebaliknya, ormas Islam yang dapat bekerja sama dengan pemerintah akan diberikan banyak kemudahan, apalagi bila mau menyokong partai tertentu.

Pada era reformasi, kontrol ketat terhadap pertumbungan dan perkembangan ormas Islam tidak ada lagi. Atas nama hak asasi, setiap orang bebas membentuk perkumpulan atau jamaah dengan tujuan apa saja. Kebebasan ini juga dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Tanpa dikomando, kelompok pengajian, usrah, halaqah, dan sejenisnya tumbuh bak jamur di musim hujan.

Sebagian gerakan dakwah itu tidak mau dikenal publik. Gerakannya hidup, tumbuh dan berkembang. Perekrutan jamaah dilakukan secara massif tetapi tertutup. Cirinya eksklusif, selalu berjamaah, terkesan taat beragama dan berkelompok. Secara rutin mereka melakukan pertemuan, jamaahnya dibaiat dan harus melakukan tugas dakwah dalam arti yang sesungguhnya. Mereka berkelana dari satu masjid ke masjid lain, dengan satu tujuan yakni berdakwah.

Sebagian yang lain mengembangkan dakwah Islam lebih terbuka dan mengenalkan diri kepada publik. Dibentuk organisasi modern seperti KAMMI, HTI, MMI, Jamaah Islamiyyah dan sejenisnya.

Ada yang berdakwah dengan politik seperti PKS, ada pula tetap setiap dengan gerakan sosialnya (HTI dan sejenisnya). Muncul pula kelompok atau jamaah pengajian yang semi organisasi seperti Majelis Tafsir al- Quran (MTA), Jamaah Tablig dan sejenisnya yang ada di setiap daerah dengan ciri khasnya masing-masing.

Dilihat dari jaringannya, sebagian ormas atau jamaah tersebut bersifat lokal, ada pula yang internasional. Dari sisi ideologi keagamaannya, mereka mengembangkan Islam normatif yang mirip dengan ideologi Wahabi. Ditambah dengan ormas keagamaan yang sudah lebih dulu seperti Muhammadiyah, NU, al-Irsyad, Persis, dan seterusnya, dakwah Islam di era reformasi relatif lebih semarak dan bergairah.

Pola dan ideologi tunggal
Iklim politik yang relatif kondusif dan kebijakan pemerintah yang tidak membatasi gerak dakwah Islam adalah berkah tersendiri. Ormas atau jamaah Islam berlombalomba mengajarkan Islam seseuai dengan keyakinannya. Untuk sebagian malah berani menyerang paham- paham keagamaan ormas lama yang dulu sangat dominan. Akibatnya terjadi ketegangan antarormas, ormas dengan jamaah dan jamaah dengan masyarakat sekitar.

Menjamurnya ormas dan jamaah pengajian di Indonesia memiliki pola gerakan dan ideologi yang serupa. Pola gerakannya selalu membentuk jamaah (kelompok) dan merekrut anggotanya secara tertutup tapi massif. Masing-masing jamaah selalu diberi tugas untuk berdakwah dan mencari jamaah lagi. Pola rekrutmen jamaah bisa dor to dor, melalui masjid atau musala, atau lewat lembaga pendidikan.

Melalui jamaah yang rutin melakukan pertemuan dan pendalaman agama ini, indoktrinasi ajaran-ajaran Islam dilakukan secara intensif. Ajaran Islam yang dianut menyerupai paham yang dianut oleh tokoh gerakan dakwah dari Timur Tengah seperti Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Sayyid Qutub, Hassan al-Banna dan lain-lain. Sekalipun mereka kadang tidak mau dihubungkan keyakinan agamanya dengan kelompok tertentu atau mengaku tidak bermazhab, tapi pokok-pokok doktrinnya hampir serupa dengan tokoh dari Jazirah Arab itu.

Arab Saudi mendukung penuh gerakan Abdul Wahab (Wahhabi) dan menyebarkannya secara internasional. Dengan kekayaan minyak yang dimiliki, negara petrodolar itu memberi sumbangan kepada ormas keagamaan baik yang berkategori internasional maupun lokal, sepanjang ideologinya sama dengan Saudi Arabia. Belum ada data konkret tentang hal ini, namun kemesraan itu dapat dibaca dengan mudah.

Sejarah gerakan dan ajaran Wahhabi sangat khas, kaku, dan tekstual. Mereka merasa paling benar dan mudah mengkafirkan kelompok lain. Kolaborasi Wahhabi dengan Ibn Sa"ud saat itu melahirkan kekhawatiran dunis Islam lain. Mereka pernah memerintahkan penghancuran makam, atau masjid yang dianggap keramat. Mereka mengirim juru dakwah Wahhabi (mutawiyyah) ke suku-suku gurun untuk menyalakan perang suci (jihad) di hati mereka.

Saat itu, penduduk gurun terpengaruh, lebih baik latihan perang dari pada menjadi buruh tani. Toh, sama-sama mendapatkan bayaran, apalagi ditambah dengan tujuan dakwah. Embrio radikalisme beragama sangat mudah di Saudi. Hal sejenis juga terjadi di Indonesia saat ini. Banyak kelompok pengajian mengajarkan bahwa dakwah lebih utama dari keluarga atau persaudaraan. Pekerjaan dan aktivitas dunia lain dianggap tidak penting, kalau panggilan dakwah sudah mengundang.

Tentu saja, tidak mudah menghubungkan gerakan dakwah Islam di Indonesia dengan jaringan internasional Wahhabi. Tetapi dilihat dari pola dan ideologinya, keterkaitan itu bukanlah suatu kebetulan. Ada perencanaan, aliran dana, dukungan literatur dan sejenisnya sehingga pola dan gerakan dakwah memiliki banyak kesamaan di dua negara tersebut.

Menumpas tradisi
Bukan suatu kebetulan juga bila gerakan Islam pascareformasi hampir sama pendapatnya tentang tradisi. Mereka seragam menyatakan bahwa tradisi keagamaan itu haram bila tidak ada dasar Alquran dan hadits. Mereka juga terang-terangan mengatakan di muka umum atau di mimbar masjid bahwa tradisi keagamaan dari ormas tertentu harus diberantas habis.

Para dai yang memancing emosi warga itu tidak takut dimusuhi karena yang ditakuti hanya Allah semata. Mereka menyebut tradisi atau muatan lokal dalam Islam sebagai praktik takhayul, bidah, dan khurafat yang harus diberantas. Bentukbentuk muatan lokal seperti tahlil, manakib, ziarah kubur dan masalah khilafiyah lainnya diserang habis dan dicap sebagai tradisi yang hanya akan mengantarkan pengamalnya ke pintu neraka. Cara-cara dakwah mereka juga diarahkan untuk mengkritik dan menonjok Islam tradisi.

Dengan jargon gerakan alruju" ila Alquran wa al-Sunnah (kembali kepada Alquran dan al-Sunnah), Islam harus dibersihkan (purifikasi) dari budaya atau tradisi masyarakat. Ukuran kemurnian Islam didasarkan pada ajaran tunggal seperti Muhammad bin Abdul Wahhab.

Sejatinya, doktrin kembali kepada Alquran dan al-Sunnah adalah doktrin mulia. Semua orang tahu, bahwa muslim harus mendasarkan kehidupannya pada dua sumber itu. Tetapi pengejawantahan doktrin tersebut seharusnya tidak perlu menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Dapat dibayangkan, kelompok Islam yang relatif masih berjumlah kecil saja berani terang-terangan melawan pendapat mayoritas. Apa jadinya bila secara kuantitas mereka memiliki pengikut yang banyak.

Menurut penulis, pemberantasan tradisi adalah tujuan antara, sementara tujuan utamanya adalah ideologi. Teorinya sangat sederhana, bila umat Islam sudah bisa dipisahkan dari tradisi yang bertahun-tahun dianut, maka merubah ideologi tinggal menunggu waktu. Semua orang tahu, tradisi adalah kebiasaan yang lama dilakukan. Tradisi adalah ideologi bagi seseorang.

Dalam konteks kenegaraan, dasar negara adalah ideologi yang mentradisi. Dalam jangka panjang, dasar negara bisa jadi akan aus dan hanya menjadi tradisi semata, sama seperti tradisi-tradisi lainnya. Apalagi dasar negara yang tidak ada sandaran kitab sucinya. Bila ideologi negara sudah ambruk, maka cita-cita khilafah Islamiyyah segera terwujud. Bangunan kenegaraan ini bisa jadi berada di dalam ancaman yang sangat serius.